“Selamat Datang di Kampung Bebas Atribut Parpol dan Caleg”. Artikel bergaya feature itu menulis tentang sebuah kampung di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta, yang mendeklarasikan diri sebagai kampung bebas atribut parpol dan caleg.
Warga di RW 02, 03, 04, dan 05 Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta, Selasa (17/3), menghindari pemasangan atribut partai politik maupun calon anggota legislatif untuk menjaga keharmonisan antarwarga dan keasrian lingkungan (foto: Kompas)
Sungguh, membaca artikel itu menjadi semacam oase tersendiri atas kedahagaan saya terhadap atmosfer kampanye pemilu yang tidak mengumbar-umbar poster caleg dengan cara yang menurut saya “sudah membabi buta” seperti sekarang ini. Membabi buta? Ya, karena saya sudah mengganggap over-aksi, bahkan cenderung mengotori visual lingkungan.
”Lingkungan RW 05 Tanpa Atribut Parpol”. Tulisan pada banner yang melintang di kampung itu jelas terlihat unik. Tulis Kompas, sepintas terkesan warga tidak peduli dengan kampanye pemilu yang tengah berlangsung. Mereka juga sepertinya ogah terlibat dalam kampanye.
Jika dibandingkan dengan pemandangan “di luar pagar” lingkungan RW-RW itu memang terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan tempat lain. Berjarak satu tikungan saja, rumah-rumah penduduk serta tiang listrik dan pagar di luar lingkungan RW 04 sudah sesak semrawut dengan poster, bendera, serta spanduk parpol dan caleg.
”Gara-gara spanduk dan poster-poster partai politik, anak- anak kami jadi berantem. Mereka berlomba-lomba memasang atribut partai setelah diiming- imingi imbalan uang. Kalau terus dibiarkan, kami khawatir keharmonisan lingkungan terganggu. Karena itu, pemasangan segala bentuk atribut partai kami larang di lingkungan kami,” ujar Suhadi Jamil, Sekretaris RW 04, seperti ditulis Kompas.
Menurut Jamil, kebijakan pelarangan pemasangan atribut partai awalnya tidak mudah. Apalagi banyak pemuda di lingkungannya yang tidak memiliki pekerjaan sehingga iming-iming uang pemasangan atribut partai Rp 20.000 per bendera menjadi kesempatan untuk mendapatkan penghasilan.
”Ini memang sangat dilematis. Akan tetapi, semua akhirnya mau mengerti karena kebersamaan dan kerukunan warga lebih penting daripada memperjuangkan sesuatu yang ujung-ujungnya juga belum jelas,” kata Jamil.
Jamil mengatakan, masalah seperti ini baru muncul pada pemilu kali ini. Pada Pemilu 2004, warganya sebenarnya juga memasang bendera dan atribut partai. Namun, karena partai yang didukung merupakan partai yang sama, bendera dan atribut yang dipasang pun seragam. Pada Pemilu 2004, Kelurahan Kadipaten merupakan basis salah satu partai yang berhaluan keagamaan.
Warga di RW 02, 03, 04, dan 05 Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta, Selasa (17/3), menghindari pemasangan atribut partai politik maupun calon anggota legislatif untuk menjaga keharmonisan antarwarga dan keasrian lingkungan (foto: Kompas)
Sungguh, membaca artikel itu menjadi semacam oase tersendiri atas kedahagaan saya terhadap atmosfer kampanye pemilu yang tidak mengumbar-umbar poster caleg dengan cara yang menurut saya “sudah membabi buta” seperti sekarang ini. Membabi buta? Ya, karena saya sudah mengganggap over-aksi, bahkan cenderung mengotori visual lingkungan.
”Lingkungan RW 05 Tanpa Atribut Parpol”. Tulisan pada banner yang melintang di kampung itu jelas terlihat unik. Tulis Kompas, sepintas terkesan warga tidak peduli dengan kampanye pemilu yang tengah berlangsung. Mereka juga sepertinya ogah terlibat dalam kampanye.
Jika dibandingkan dengan pemandangan “di luar pagar” lingkungan RW-RW itu memang terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan tempat lain. Berjarak satu tikungan saja, rumah-rumah penduduk serta tiang listrik dan pagar di luar lingkungan RW 04 sudah sesak semrawut dengan poster, bendera, serta spanduk parpol dan caleg.
”Gara-gara spanduk dan poster-poster partai politik, anak- anak kami jadi berantem. Mereka berlomba-lomba memasang atribut partai setelah diiming- imingi imbalan uang. Kalau terus dibiarkan, kami khawatir keharmonisan lingkungan terganggu. Karena itu, pemasangan segala bentuk atribut partai kami larang di lingkungan kami,” ujar Suhadi Jamil, Sekretaris RW 04, seperti ditulis Kompas.
Menurut Jamil, kebijakan pelarangan pemasangan atribut partai awalnya tidak mudah. Apalagi banyak pemuda di lingkungannya yang tidak memiliki pekerjaan sehingga iming-iming uang pemasangan atribut partai Rp 20.000 per bendera menjadi kesempatan untuk mendapatkan penghasilan.
”Ini memang sangat dilematis. Akan tetapi, semua akhirnya mau mengerti karena kebersamaan dan kerukunan warga lebih penting daripada memperjuangkan sesuatu yang ujung-ujungnya juga belum jelas,” kata Jamil.
Jamil mengatakan, masalah seperti ini baru muncul pada pemilu kali ini. Pada Pemilu 2004, warganya sebenarnya juga memasang bendera dan atribut partai. Namun, karena partai yang didukung merupakan partai yang sama, bendera dan atribut yang dipasang pun seragam. Pada Pemilu 2004, Kelurahan Kadipaten merupakan basis salah satu partai yang berhaluan keagamaan.
0 komentar:
Posting Komentar